ANAKKI DO HAMORAON DI AU
ANAKKI
DO HAMORAON DI AU | All About Mom and Dad’s Love
Adalah suatu adagium kuno yang hingga kini
masih berlaku di kalangan masyarakat Batak. Sebuah ideologi yang merefleksikan
tanggung jawab terhadap anak, sebagai suatu bagian dari titipan ilahi. Orang Batak
percaya,
prestise terbaik ada pada anak mereka. Kesuksesan anak, merupakan kunci keberhasilan orangtua yang dipandang oleh masyarakat lain. Sehingga mencetak generasi terbaik, merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan oleh orangtua.
prestise terbaik ada pada anak mereka. Kesuksesan anak, merupakan kunci keberhasilan orangtua yang dipandang oleh masyarakat lain. Sehingga mencetak generasi terbaik, merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan oleh orangtua.
Bila gatot kaca disebut otot besi tulang
baja, orang Batak sering dianalogikan “banting tulang” bekerja demi menghidupi
anak-anaknya. Pengorbanan orangtua terutama fokus dalam hal edukasi
anak-anaknya. Tidak sedikit orangtua yang tidak memiliki titel pendidikan,
memiliki anak-anak yang berkarir dibidang tertentu. Dan terbukti, mayoritas
orang Batak sukses hanya dengan memiliki orangtua pegiat yang memegang teguh
prinsip tersebut.
Pada hari pertama bulan Agustus, kabar
gembira itu akhirnya muncul. Aku diterima di Universitas Negeri di kota bertuah
melalui jalur undangan. Setelah mengalami fase pemikiran panjang, aku
memutuskan untuk menuntut ilmu di negeri melayu tersebut. Jauh hari sebelum
pendaftaran, aku merahasiakan keinginan terbesarku itu. Sebagai bungsu dari
lima bersaudara, hal ini menjadi titik nadir bagi kedua orangtua. Terlebih di usia
mereka yang tidak muda lagi.
“Pada dasarnya, semua perguruan tinggi itu
sama!” ketus Mak yang menginginkanku untuk kuliah di kota domisili kami saja.
“Anakmu ingin mendapatkan pengalaman baru di
negeri orang, Mak!” sahutku bersikukuh dengan keinginan lamaku.
Aku melihat ketidakpercayaan mereka
terhadapku. Mereka meremehkan seorang anak manja yang ingin melepas diri
menjangkau dunia kemandirian. Tetapi aku tidak memberontak. Itu akan membuat
mereka semakin keras dengan keputusannya. Aku memulai dengan sedikit melobi,
mengeraskan doa disetiap penghujung sholat, dan menunaikan puasa pasca
pengumuman kelulusan. Dan begitu, aku sudah melihat keluluhan hati dari
keduanya.
Dan ketika makan malam kelar, aku menghampiri
keduanya. Menyalami dan membulatkan tekad untuk berjuang mengecap dunia luar.
Tidak lama, aku melihat sepercik
kesedihan diantara kerut wajah keduanya. Aku tahu diantara kesekian bukti cinta
yang mereka sodorkan, ini yang terberat. Dan menjadi tugasku untuk tidak
mengecewakan keduanya.
“Biarkan dia dengan impiannya, Bu,” tegas
Bapak sebagaimana Ayah lain yang biasanya bersifat keras dan logis terhadap
anak-anaknya. Lantas Bapak menepuk pundakku dan berseru, “anakki do, hamoraon
di au!”
Mak mengangguk sembari mendekapku hangat.
Dari semburat wajahnya memancarkan kesedihan seorang Ibu yang harus rela
melepas kepergian bungsunya. Kantong mataku ikut melumer menampakkan air mata
juga. Aku melirik Bapak yang tersenyum sambil berlalu meninggalkan momen haru
tersebut.
Dan ketika hari tenang di kampung itu pun
berakhir, kami berdiam di terminal bus rute kota bertuah. Disana Mak sudah
mempersiapkan koper dan keperluan lain. Disaat kondektur bus mulai memanggil
penumpang untuk masuk, Mak membisikiku sesuatu, “Ingat kata Mak. Bila di
perantauan, jangan mengukur t*hi kering diatas batu.”
“Maksud Mak?” Aku kebingungan dengan nasehat
terakhir itu.
“Artinya, kamu jangan cepat mencap sesuatu yang
belum jelas arah tujuannya,” jelas Mak meyakinkan.
Aku mengangguk. Walau sedikit aneh, tapi
petuah itu mungkin bisa menjadi hal yang berharga untukku ketika berada di negeri
orang. Tidak lama berselang, mesin bus berderu. Dari sandaran kursi, aku
melambai. Semakin jauh, visual Mak dan Bapak semakin kabur dan samar-samar.
Hingga tidak terlihat lagi.