--> Skip to main content

ANAKKI DO HAMORAON DI AU



http://tenteraverbisa.wordpress.com/2014/08/22/kontes-sadar-hati-berhadiah-tablet-pc/



ANAKKI DO HAMORAON DI AU | All About Mom and Dad’s Love

Adalah suatu adagium kuno yang hingga kini masih berlaku di kalangan masyarakat Batak. Sebuah ideologi yang merefleksikan tanggung jawab terhadap anak, sebagai suatu bagian dari titipan ilahi. Orang Batak percaya,
prestise terbaik ada pada anak mereka. Kesuksesan anak, merupakan kunci keberhasilan orangtua yang dipandang oleh masyarakat lain. Sehingga mencetak generasi terbaik, merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan oleh orangtua.

Bila gatot kaca disebut otot besi tulang baja, orang Batak sering dianalogikan “banting tulang” bekerja demi menghidupi anak-anaknya. Pengorbanan orangtua terutama fokus dalam hal edukasi anak-anaknya. Tidak sedikit orangtua yang tidak memiliki titel pendidikan, memiliki anak-anak yang berkarir dibidang tertentu. Dan terbukti, mayoritas orang Batak sukses hanya dengan memiliki orangtua pegiat yang memegang teguh prinsip tersebut.

Pada hari pertama bulan Agustus, kabar gembira itu akhirnya muncul. Aku diterima di Universitas Negeri di kota bertuah melalui jalur undangan. Setelah mengalami fase pemikiran panjang, aku memutuskan untuk menuntut ilmu di negeri melayu tersebut. Jauh hari sebelum pendaftaran, aku merahasiakan keinginan terbesarku itu. Sebagai bungsu dari lima bersaudara, hal ini menjadi titik nadir bagi kedua orangtua. Terlebih di usia mereka yang tidak muda lagi.

“Pada dasarnya, semua perguruan tinggi itu sama!” ketus Mak yang menginginkanku untuk kuliah di kota domisili kami saja.

“Anakmu ingin mendapatkan pengalaman baru di negeri orang, Mak!” sahutku bersikukuh dengan keinginan lamaku.

Aku melihat ketidakpercayaan mereka terhadapku. Mereka meremehkan seorang anak manja yang ingin melepas diri menjangkau dunia kemandirian. Tetapi aku tidak memberontak. Itu akan membuat mereka semakin keras dengan keputusannya. Aku memulai dengan sedikit melobi, mengeraskan doa disetiap penghujung sholat, dan menunaikan puasa pasca pengumuman kelulusan. Dan begitu, aku sudah melihat keluluhan hati dari keduanya.

Dan ketika makan malam kelar, aku menghampiri keduanya. Menyalami dan membulatkan tekad untuk berjuang mengecap dunia luar. Tidak lama, aku  melihat sepercik kesedihan diantara kerut wajah keduanya. Aku tahu diantara kesekian bukti cinta yang mereka sodorkan, ini yang terberat. Dan menjadi tugasku untuk tidak mengecewakan keduanya.

“Biarkan dia dengan impiannya, Bu,” tegas Bapak sebagaimana Ayah lain yang biasanya bersifat keras dan logis terhadap anak-anaknya. Lantas Bapak menepuk pundakku dan berseru, “anakki do, hamoraon di au!”

Mak mengangguk sembari mendekapku hangat. Dari semburat wajahnya memancarkan kesedihan seorang Ibu yang harus rela melepas kepergian bungsunya. Kantong mataku ikut melumer menampakkan air mata juga. Aku melirik Bapak yang tersenyum sambil berlalu meninggalkan momen haru tersebut.

Dan ketika hari tenang di kampung itu pun berakhir, kami berdiam di terminal bus rute kota bertuah. Disana Mak sudah mempersiapkan koper dan keperluan lain. Disaat kondektur bus mulai memanggil penumpang untuk masuk, Mak membisikiku sesuatu, “Ingat kata Mak. Bila di perantauan, jangan mengukur t*hi kering diatas batu.”

“Maksud Mak?” Aku kebingungan dengan nasehat terakhir itu.
“Artinya, kamu jangan cepat mencap sesuatu yang belum jelas arah tujuannya,” jelas Mak meyakinkan.

Aku mengangguk. Walau sedikit aneh, tapi petuah itu mungkin bisa menjadi hal yang berharga untukku ketika berada di negeri orang. Tidak lama berselang, mesin bus berderu. Dari sandaran kursi, aku melambai. Semakin jauh, visual Mak dan Bapak semakin kabur dan samar-samar. Hingga tidak terlihat lagi.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar