Sepotong Perjalanan Sejarah Mengenai Universitas Riau
Sepotong Perjalanan Sejarah Mengenai Universitas Riau
Sebuah
asa bisa terwujud, andai memang menang bersaing dengan iktiarnya. Hal itu
mengingatkan saya dengan penerimaan mahasiswa baru pada tahun kemarin. Sebagai siswa
dari sekolah desa,
diterima pada lingkungan UR dan naik titel sebagai
mahasiswa, tentunya membawa kesan tersendiri bagi saya.
Sebelumnya, saya yang berasal dari luar Riau, yang tengah
menjalani hidup selama dua semester terakhir ini, berakhir pada kesimpulan bahwa
masyarakat bumi lancang kuning memiliki filantropi dalam menjunjung tinggi adat
keislamiannya. Oleh karena itu, tidaklah heran ketika masyarakat Riau pada
waktu itu sangat mendambakan terbentuknya Perguruan Tinggi Negeri yang bisa
mencetak generasi berkualitas untuk daerahnya.
Saya tidak akan membahas transformasi UR yang terperinci,
karena memang keterbatasan saya akan hal itu. Begini, saya akan merangkai sejarah
UR dalam perspektif saya sendiri. Sedikit intermezzo, pernah suatu ketika teman saya
menginggung UR mengenai sukuisme-nya. Dimana-mana yang menjabat adalah melayu.
Saya jelas membantah. Beberapa poin saya bisa menyanggah itu. Sebagian bukti,
tidak sedikit pendidik dan mahasiswa yang berasal dari luar, mendapatkan tempat
di UR. Lain lagi dengan Kaharuddin Nasution yang ikut andil dalam pelopor
pendirian UR, dan sempat menjabat presidium UR dikala itu. Dapat dikatakan,
Kaharuddin Nasution telah menjadi the
founding father-nya UR.
Berbicara sejarah UR, kita tidak bisa lepas dengan flashback perkembangan internal UR
sendiri. Pertama dari perubahan sistem,
dari sistem presidium menjadi sistem rektor, pertambahan jumlah fakultas, dan
juga pergantian jabatan rektornya. Selain itu, sisi lain sejarah UR juga akan
mencatat prestasi-prestasi yang berhasil ditorehnya selama ini.
UR mesti berterimakasih kepada Fakultas Ketataniagaan dan
Ketatanegaraan serta Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan. Kedua Fakultas ini menjadi nenek moyang Fakultas UR dalam
menjalankan fungsi Tri Dharma Perguruan Tingginya. Baru setelah itu UR
mengalami penambahan jumlah Fakultas sampai pada saat yang kita lihat sekarang
ini.
Sebelumnya, saya adalah salah satu dari sekian mahasiswa
pejalan kaki yang menunggu pada gerbang HR. Soebrantas. Dan mengingat
temperatur Pekanbaru yang begitu ekstrem, tentu sedikit banyaknya memberikan
kontribusi problematika-nya. Saya senang, melihat Rumah Sakit UR yang bercokol
megah itu dari balik jendela kaca bus UR dan BTN. Tentunya, ini merupakan
sejarah baru bagi UR untuk menjawab tantangan demi tersedianya fasilitas medis
yang semakin modern.
Saya ingat, tahun lalu, UR tengah merayakan Dies Natalis
emasnya yang ke 50-tahun. Pada usia ini, tentunya banyak hal yang telah dialami
UR sebagai Perguruan Tinggi nomor satu di provinsi Riau. Ibarat manusia, dia
telah beruban. Dan semakin lebat ubannya, semakin bertambah kebijaksanaannya.
Kulitnya yang mulai mengeriput, menandakan banyaknya hal yang telah dia lalui. Termasuk
bertambah kayanya pengalaman, yang memacunya untuk berbuat lebih baik dari
sebelumnya.
Satu hal yang kontradiksi, adalah bahwa badan tua-nya tidak
akan mendapatkannya kepada kerapuhan. Begitulah seharusnya terjadi pada UR.
Pada usia emas ini, tetap mengokohkan diri memberi sumbangsih terhadap
masyarakat.
Kita mesti berterimakasih kepada the founding father-nya. Diantaranya Kaharuddin
Nasution, Datuk Wan Abdurrahman, Soesman Hs. dan Sutan Balia. Atas jasa merekalah, kita bisa
memiliki UR seperti saat sekarang ini. Tak pelak lagi, dari kerja keras mereka,
saya khususnya dan kita pada umumnya bisa mengecap pendidikan di perguruan tinggi
ini.
Terakhir, rupa dengan bentuk Lancang Kuning dalam lingkungan
segi lima yang sarat akan makna itu tentunya memiliki Visi, Misi, Tujuan serta
Fungsi yang ingin dicapainya. Maka mulailah dengan ini, negara yang besar
adalah negara yang menghargai pahlawannya. Dan saya bilang, UR akan besar bila
menghargai the founding father-nya. Dengan
demikian, UR bisa membanggakan diri dalam pergaulan dengan Perguruan Tinggi
Indonesia lainnya.