Bom Waktu Penduduk Mengganggu Keseimbangan Lingkungan dan Kelestarian Alam Kita
Berbekal kepedulian terhadap bumi yang
semakin renta ini, saya akan memulai dengan introduksi terhadap sesuatu yang
sedang hangat diperbincangkan bagi kehidupan khalayak ramai, yakni permasalahan
lingkungan. Permasalahan lingkungan muncul akibat kompleksitas kebutuhan
manusia. Setiap aktivitas manusia sejatinya selalu bergantung terhadap alam,
dan secara langsung ikut mempengaruhi lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu,
permasalahan lingkungan menjadi fenomena krusial yang selalu hadir seiring
pertumbuhan penduduk, dan merupakan hal yang mustahil untuk dihilangkan tetapi
bukan mustahil untuk mereduksinya.
Indonesia merupakan negara keempat dengan
kuantitas penduduk terbesar di dunia. Penduduk yang banyak, seyogyanya
menjadikan Indonesia sebagai negara yang potensial dalam pengembangan sumber
daya alamnya. Namun hal itu bagai jauh panggang dari api. Setidaknya 20% dari
jumlah penduduk Indonesia masih berkutat dalam kemiskinan.
Berbagai kegiatan ekonomi seperti sektor
pertanian dan perikanan sebagian besar terfokus pada daerah pedesaan dan
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan dan laut. Rendahnya kualitas
dan pasokan air bersih diperkotaan, penanganan limbah yang sembrono,
peningkatakan volume sampah perkotaan, peningkatan jumlah kendaraan bermotor,
rentannya ketahanan pangan dan masih banyak lagi permasalahan lingkungan yang memiliki
keterkaitan satu sama lain.
Permasalahan air bersih di perkotaan adalah
permasalahan klasik. Penanganan saluran air yang tidak tertata membuat kasus
pencurian air semakin meningkat. Belum lagi daerah ruang terbuka yang semakin
sedikit akibat pembangunan kawasan pemukiman, membuat kapasitas daerah serapan
air berkurang dan menjadikan pasokan air dibawah tanah juga ikut menipis.
Masalah rendahnya penanganan limbah industri ikut memperkeruh kualitas air di
perkotaan. Pelaku ekonomi seakan memandang sebelah dengan permasalahan ini.
Volume sampah di perkotaan semakin meningkat seiring berkembangnya aktifitas ekonomi masyarakat. Diversifikasi jenis makanan yang menggunakan bungkus dan menghasilkan sampah sisa yang tidak dapat diurai oleh lingkungan. Hal ini diperparah dengan minimnya kesadaran masyarakat dalam manajemen sampah, termasuk perilaku membuang sampah di kali.
Menilai ketahanan pangan dalam skala
minimalisnya, mari kita bahas Provinsi Riau. Untuk subsektor pangan, Riau
ibarat telur diujung tanduk. Bagaimana tidak, data produksi padi
Riau pada tahun 2002 menunjukkan angka sebesar 356.719 ton, dan pada tahun 2012
tercatat sebesar 434.151 ton. Rata – rata peningkatan produksi padi lokal hanya
mencapai 7,16 % tiap tahun. Jika dibandingkan dengan peningkatan penduduk Riau
pada tahun 2012 yang mencapai 5.929.172 jiwa, tidak akan mampu menutupi
kebutuhan pangan. Jika diasumsikan satu orang memerlukan beras sebanyak 10 kg
setiap bulannya, maka didapat angka sebesar 711.500 ton beras yang diperlukan.
Dalam hal ini, Riau telah defisit beras sebesar 61 % dari total produksi dalam
daerah. Maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan beras di Riau jauh lebih tinggi
bila dibandingkan dengan produksinya.
Salah satu permasalahan lingkungan aktual
yang terjadi adalah kabut asap yang melanda Provinsi Riau pada bulan Februari
yang lalu. Bencana ini adalah sebuah fenomena klise yang menjadi rutinitas
setiap tahunnya. Riau sebagai penghasil kelapa
sawit terbesar di Indonesia (6.421.228 ton pada tahun 2012) menjadi
sumber devisa utama bagi Indonesia. Namun pundi-pundi devisa itu sayangnya
tidak dibarengi dengan karakter sehat para pemangku kekuasaan perusahaan
perkebunan. Aktivitas pembukaan lahan yang paling mudah dan murah pun dipilih
demi mengejar prinsip ekonomi klasiknya “menekan biaya seminim-minimnya, meraup
keuntungan sebesar-besarnya”.
Secara teknis, permasalahan air bersih dapat direduksi dengan pengadaan alat filter air, rehabilitasi saluran pipa air bawah tanah, peningkatan keamanan terhadap pencurian air, perluasan daerah resapan air dengan membangun kanal, taman, dan menghindari betonisasi dengan hanya memasang batako di halaman rumah. Secara sistemis, termasuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen di dalam tubuh PAM sendiri.
Permasalahan sampah dapat direduksi dengan mempercepat distribusi sampah menuju TPA. Sampah organik dan anorganik seharusnya dipisah dan diberi perlakuan yang berbeda dalam hal penanganannya. Mengajak masyarakat dalam memanfaatkan sampah organik menjadi pupuk. Bagi yang memiliki kreatifitas tinggi, dapat memanfaatkan sampah anorganik menjadi suatu produk yang memiliki nilai jual tinggi. Hal-hal kecil seperti mulai memperbaiki kebiasaan dengan membawa barang belanjaan menggunakan plastik yang dibawa dari rumah dapat mengurangi kontaminasi limbah plastik yang berlebihan.
Dalam hal kerawanan pangan, berbagai strategi klasik seperti diversifikasi pangan, mematok harga dasar atau harga pokok pangan yang menguntungkan petani dan konsumen, kebijakan pemberian subsidi pada seluruh tahapan usaha tani juga menjadi alternatif terbaik pemerintah untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian. Selain itu, upaya untuk menciptakan OVOP (One Village One Product) bisa menjadi solusi alternatif untuk meningkatkan nilai keunggulan kompetitif produk pertanian lokal, khususnya di pedesaan. Kita banyak melihat berbagai desa dengan sentra produksi pertaniannya yang khas. Namun karena benturan produk asing, tidak sedikit petani dan pengusaha industri kreatif di desa mengalami kegagalan. Berbagai keunggulan produk pertanian lokal yang dihasilkan terutama produk khas tropika dapat menjadi kunci memenangkan persaingan di era AFTA nantinya. Sehingga pada akhirnya kita bisa memperoleh keuntungan dari pemberlakuan AFTA pada tahun 2015 mendatang.
Seperti menyumbat mata air dengan satu tangan,
maka pancaran mata air lain akan menyembul keluar. Dibutuhkan tangan-tangan
lain supaya mata air itu benar-benar berhenti keluar, atau paling tidak
berkurang intensitasnya. Seperti analogi tersebut, maka permalahan penduduk
membutuhkan solusi yang komprehensif untuk menjangkau seluruh faktor
penyebabnya.
Mengapa hal ini terus berlanjut? Manusia
seolah-olah pikun dengan kearifan lingkungannya akibat dibutakan oleh
kapitalisme. Tidak jelas lagi batas antara yang halal dan yang haram membuat
manusia tega memperkosa alam dengan nafsu keserakahannya. Kemudian para
generasi mendatang akan melegitimasi kegiatan yang dilakukan oleh para
pendahulunya sebagai sebuah tradisi yang tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Terakhir, semangat pembangunan haruslah
dibarengi dengan wawasan lingkungan. Dalam era industrialisasi saat ini, setiap
lulusan dari lembaga pendidikan di Indonesia memegang peranan penting dalam
mengelola kekayaan alam kita. Eksploitasi sumber daya alam memang mutlak
diperlukan, namun juga diperlukan adanya inovasi untuk menghindari tingginya
ketergantungan kita terhadap bahan mentah. Mari kita ciptakan kehidupan yang
berkesinambungan dengan alam, menjunjung nilai-nilai kearifan lokal, dan
mewariskannya terhadap anak cucu kita kelak. Semua itu hanya dengan tujuan
menjaga bumi kita supaya tetap hijau. (14/05/2014)