--> Skip to main content

VICKINISASI BERAS


VICKINISASI, BERAS
Pertumbuhan penduduk Riau yang semakin meningkat tidak pelak menjadikan kebutuhan pangan juga semakin tinggi. Dominasi subsektor perkebunan terhadap subsektor pangan turut menyumbang efek yang signifikan

Beberapa daerah yang terkenal dengan lumbung padi seperti Rokan Hulu dan Kampar, terus mengalami penurunan produksi akibat alih fungsi lahan secara massif. Minimnya diversifikasi pangan turut memperkental permasalahan krisis beras di Riau.

Vickynisasi sejatinya adalah fenomena dimana seseorang menyalahgunakan bahasa dengan seenak dengkul, tanpa berdasarkan ejaan atau tatabahasa yang disempurnakan. Jika kesalah-kaprahan itu terus berlanjut, maka akan terjadi yang namanya narsisme, dimana seseorang yang terlalu percaya diri dan menganggap keadaan jauh lebih baik seakan tidak ada masalah serius. Seperti halnya kesalah-kaprahan tersebut, vickynisasi telah merasuk ke dalam diri pemerintah Riau. Berbagai penanganan permasalahan pangan dilakukan tanpa bisa mengatasi akar permasalahan. Bahkan bila diukur, pemerintah terkesan santai dan tidak mau ambil pusing. Langkah instan pun dilakukan dengan mendatangkan pasokan beras dari berbagai daerah.

Beberapa langkah konkrit terkait penanganan krisis beras seperti himbauan moral kepada petani padi agar tidak melakukan alih fungsi lahan terkesan tumpul. Pemerintah hanya bisa melakukan sosialisasi persuasif, tanpa mampu memberikan proteksi terhadap petani padi dengan kebijakan penetapan harga minimum. 

Data produksi padi Riau pada tahun 2002 menunjukkan angka sebesar 356.719 ton, dan pada tahun 2012 tercatat sebesar 434.151 ton. Rata – rata peningkatan produksi padi hanya mencapai 7,16 % tiap tahun. Jika dibandingkan dengan peningkatan penduduk Riau pada tahun 2012 yang mencapai 5.929.172 jiwa, tidak akan mampu menutupi kebutuhan pangan. Jika diasumsikan satu orang memerlukan beras sebanyak 10 kg setiap bulan, maka jika dikalikan dengan jumlah penduduk dan dalam periode satu tahun, didapat angka sebesar 711.500 ton beras yang diperlukan. Dalam hal ini, Riau telah defisit beras sebesar 61 % dari total produksi dalam daerah. Maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan beras di Riau jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksinya. 

Celakanya, untuk menutupi permintaan beras yang semakin melonjak itu, pemerintah Riau terkesan tidak ambil pusing dengan mendatangkan pasokan beras dari luar Riau, seperti dari Sumatera Barat. Langkah ini dinilai sebagai jalan instan untuk menutupi defisit beras. Solusi instan ini bukan tanpa resiko. Selain membengkaknya anggaran belanja daerah untuk membeli beras, juga berakibat goyangnya ketahanan pangan Riau. Belum lagi ketidakpastian kelancaran pengangkutan dari daerah produksi menuju Riau.

Setelah memaparkan fenomena yang terjadi, mari kita membahas beberapa faktor penyebab terjadinya fenomena ini. Pertama adalah penurunan luas lahan panen padi di Riau. Pada tahun 2013, terjadi penurunan luas lahan panen padi sebesar 16% dibanding tahun sebelumnya. Dari kurun waktu 2003 sampai 2013, rata – rata penurunan luas lahan padi di Riau mencapai 19,96% per tahun. Hal ini mempengaruhi produksi padi daerah. 

Jika kita melihat fenomena peningkatan produksi padi pada tahun 2006 sekitar 4,28 % (18.170 ton) adalah akibat terealisasinya program penumbuhan kantong penyangga produksi padi di lahan rawa lebak di Propinsi Riau yang terkonsentrasi di Kabupaten Pelalawan dan Rokan Hilir. Namun program tersebut nyatanya tidak mampu bertahan. Penurunan kembali terjadi pada tahun 2010 akibat tidak adanya konsistensi penerapan kebijakan oleh pemerintah.

Faktor kedua yang menyebabkan terjadinya defisit beras di Riau adalah pergerakan alih fungsi sawah secara massif. Transformasi sawah menuju perkebunan sawit adalah penyumbang terbesarnya. Saya tidak akan membahas fenomena yang menjadi rahasia umum tersebut, karena akan ada pembahasan yang lebih spesifik mengenai itu. Penyumbang terbesar kedua adalah revitalisasi industri dan bisnis properti yang banyak menyerap lahan padi. 

Ketiga, adalah lemahnya regulasi dalam penanganan alih fungsi lahan. Adanya UU nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan kawasan pertanian tidak secara tegas mengatur mengenai alih fungsi lahan pada tiap daerah di masing –  masing provinsi. Rencana pembuatan Perda juga tidak kunjung disetujui. Kita bisa melihat adanya konflik kepentingan antara pemain subsektor perkebunan dengan anggota legislatif.

Setelah mengetahui faktor penyebab fenomena defisit beras di Riau, muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya pemerintah dalam menangani krisis beras ini? Selama ini kita sering disajikan anggapan bahwa Riau adalah daerah penghasil perkebunan dan tidak cocok dengan padi. Hal ini jelas keliru. Disinilah diperlukan peran penyuluh dan balai penelitian untuk mengembangkan varietas padi yang cocok dengan iklim dan lahan gambut di Rau. Selain itu, mendatangkan beras dari daerah lain bukanlah hal yang senantiasa bisa dilakukan selamanya. Hal ini sangat beresiko, bila sewaktu – waktu terjadi gangguan pada jalur transportasinya. Atau pada daerah pemasok mengalami defisit beras, sehingga tidak mau lagi menjual berasnya kepada Riau.

Dinas Pertanian, sebagai dinas yang terkait harus mampu memberikan jaminan harga bagi para petani padi melalui Bulog. Selanjutnya Bulog sebagai BUMN yang mengatur distributor beras juga harus mampu meningkatkan kinerjanya dalam menjaga stabilitas ketahanan pangan. 

Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus mampu mewujudkan diversifikasi pangan melalui inovasi pengolahan hasil pertanian. Mengurangi ketergantungan konsumsi beras dengan melakukan sosialisasi. Memberikan subsidi kepada petani pangan, khususnya petani jagung, ubi dan sagu. Memperbaiki prosedur dan perizinan importasi beras dari luar negeri, untuk mengurangi praktek penimbunan dan mencegah adanya pihak pihak yang diuntungkan.

Akhirnya, fenomena vickynisasi ini hanyalah sebuah fase awal dari sebuah ketidakbecusan pemerintah dalam mengatasi permasalahan pangan. Vickynisasi dianggap sebagai “tong kosong nyaring bunyinya.” Ibarat seorang dokter yang tidak mengenali karakter pasiennya, maka akan terjadi yang namanya malpraktek. Begitu juga dengan pemerintah yang kerap kali melakukan malpraktek terhadap kebijakannya mengenai krisis beras.

Peran media sangat penting dalam mengubah persepsi masyarakat secara umum. Namun, media justru terkesan pilih - pilih dalam memberikan tayangan terhadap masyarakat. Media lebih senang memilih tema politik sebagai topik utamanya karena memang lebih diminati daripada topik yang membahas pertanian dan pangan. Oleh karena itu, krisis beras di Riau sejatinya adalah sebuah krisis multidimensi dimana penanganannya haruslah dilakukan oleh semua pihak, demi terciptanya ketahanan pangan. (06/04/2014)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar