Dari Sepakbola Sampai Politik; Kita Memang Masih Kanak-kanak
Dari Sepakbola Sampai Politik; Kita Memang Masih Kanak-kanak - Sering kita dapati permainan lihai nan ciamik dari sepakbola Timnas Indonesia usia belia, sementara saat naik panggung di Timnas Senior, semua itu lebur. Hancur. Kita semua tahu beberapa waktu lalu Timnas U-19 mampu mendulang banyak skor di setiap pertandingan dan mempercundangi Thailand. Muncul tokoh sosok seorang Egi Maulana Fikri menjadi pujaan di panggung sepak bola tanah air. Mendapat sumpah serapah mulia serupa Messi Indonesia atau Cristiano Ronaldo versi Tanah Air Beta.
Sebelum nya, Timnas U-19 masa Evan Dimas dkk, juga sempat digadang-gadang sebagai poros baru geliat sepakbola Indonesia, dibawah asuhan Indra Sjafri. Banyak orang berujar permainannya mirip jebolan La Masia. Namun tetap saja akhirnya hanya kadung menjadi sirkus sepakbola belaka.
Pun begitu satu di atas level, Timnas U-23 kerap memberi penampilan yang tidak biasa. Meski masih saja Evan Dimas dan Hansamu Yama dielu-elukan, tapi di level ini setidaknya Timnas masih menyimpan citra baik di hati rakyat dan masyarakat layar kaca.
Sosok seperti Arif Suyono, Okto Maniani, Elgi Melgiansyah, Dendi Santoso atau bahkan Irfan Bachdim sekali pun sempat digadang-gadang seperti apa yang dirasakan Egi, Evan Dimas dan Febri Hariyadi. Kapasitas mereka yang bersinar di Timnas U-19 dan U-23 akan diuji kala mendapat kesempatan mengisi tempat di Timnas Senior.
Jangankan prestasi yang bisa direngkuh, konsistensi penampilan sebagaimana di Timnas junior justru semakin runtuh.
Sudah sekian nama dipuja di Timnas kelas bawah namun kala tampil di tingkat level paling tinggi sepak bola nasional, mereka justru mengalami kebebalan yang merata di setiap generasi. Ada apa dengan sepakbola di tingkat dewasa Indonesia?
Kita boleh melihat ini sebagai sebuah fenomena lazim dalam sepakbola di tanah burung Garuda. Bila kita tarik kedewasaan itu dalam lini yang lebih luas — di luar sepakbola tentunya — keadaan kita justru cenderung sama dan tak jauh berbeda.
Dalam tingkat politik nasional, misalnya, kita tahu mereka yang bercokol di kursi jabatan pemerintah selalu mengundang gelak tawa. Wakil rakyat yang lupa kepada rakyat juga para pejabat yang memunggungi masyarakat.
Jauh sebelum perut mereka membuncit dan tidur di gedung DPR, para wakil rakyat dan pejabat adalah mahasiswa yang memelihara idealisme penuh nawacita. Memihak di samping wong cilik, menempa hidup dengan buku, menelan teori-teori, mengaku kiri atau pro dengan demokrasi.
Sederet nama seperti Budiman Sudjatmiko, Fahri Hamzah, Adian Napitupulu pernah muda dan bergeliat mengubur otoritarian pemerintah. Mereka berada di pucuk lingkaran organisasi mahasiswa, memobilisasi massa juga merongrong rezim represif.
Sekarang memang tidak jauh berbeda. Melihat peran mereka saat muda, mereka kini sudah beranjak naik dan didaulat sebagai wakil rakyat. Bukan membawa perubahan yang mereka suarakan saat muda, justru yang disuarakan adalah petuah yang membuat namanya bisa bercokol di gedung Senayan. Mereka hanya mewakili rakyat di pendulangan suara, sementara usai terpilih, urusan rakyat bukan lagi urusan mereka.
Memang benar kata banyak orang; kedewasaan bukan soal usia, tapi pilihan dan kewarasan pikiran. Masyarakat kita ini rupanya masih kanak-kanak. Dan politik hanya satu wajah saja dari masyarakat kita yang tak kian tumbuh dewasa. Barangkali kalian menemukan kemelempeman yang sama. Coba saja selidiki.