--> Skip to main content

Sama Ditindas, Mengapa Tidak Bersatu Saja


When you’re in a battle against an enemy so much bigger, so much stronger than you, well, to find out you had a friend you never knew existed, well, that’s the best feeling in the world. – Dai Donovan


Joe Cooper (George MacKay) baru berumur 20 tahun saat dia menyaksikan Gay Parade  di jalanan London. Saat itu Joe sedang menegaskan orientasi seksualnya. Namun kemudian tahu-tahu dia sudah bergabung dengan sebuah kelompok Lesbians & Gays Support Miners (LGSM). Di LGSM dia bergabung dengan Mark Asthon dan kawan-kawannya yang sedang mendukung unjuk rasa buruh tambang di Inggris saat itu.


Keluarganya tidak tahu Joe sedang bergabung dengan kelompok gay. Jangankan dengan gerakan gay, Joe adalah gay saja, keluarganya tidak tahu. Joe tinggal di lingkungan suburban yang menganggap gay adalah hal yang tabu. Joe tidak mau keluarganya tahu. Lantas dia membuat alasan sedang mengikuti kursus membuat kue saat sedang mengikuti kegiatan LGSM.


Kegiatan LGSM saat itu adalah mendukung unjuk rasa buruh tambang yang diadakan seantero Inggris Raya tahun 1984. Mereka berkampanye agar banyak warga Inggris khususnya London bersimpati dengan mogok yang dilakukan oleh buruh tambang tersebut.


Mereka juga menggalang dana untuk kelompok buruh yang berada di pertambangan Wales Selatan (saat itu mereka berhasil mengumpulkan donasi sebesar 11.000 poudnsterling). Mereka tahu keluarga buruh tambang di sana tidak lagi mendapat pemasukan sejak melakukan mogok. Tapi LGSM tidak langsung diterima begitu saja.


Sewaktu Mark Ashton (Ben Schnetzer), pemimpin LGSM, mengungkapkan idenya untuk mendukung gerakan buruh tambang pertama kali, idenya tidak disambut baik. Banyak gay dari kelompoknya meninggalkan kelompok itu lantaran mereka menganggap kaum buruh juga sering melakukan diskriminasi kepada para gay. Mereka tak sudi mendukung para buruh tambang itu.


Meski begitu, Mark dan kelompoknya tidak berhenti begitu saja. Mereka kemudian mencari pertambangan terdekat untuk didukung. Kemudian mereka menghubungi sebuah posko unjuk rasa di Wales Selatan.


Saat seorang perwakilan kelompok buruh Wales, Dai Donovan datang ke London, dia sempat ditolak oleh para gay. Tapi pidatonya tentang kaum buruh tambang dan para gay yang sama dimarjinalkan oleh negara berhasil menarik simpati para gay. Dai menyebut bantuan dari LGSM dan para gay lain adalah sebuah pertolongan persahabatan. Adegan pidato ini tentu lebih baik dari pidato Presiden Whitemore dalam Independence day yang terkenal itu.


Sebaliknya, LGSM ditolak mentah-mentah sewaktu berkunjung ke markas unjuk rasa buruh tambang di Wales. Ini hal yang wajar mengingat kondisi Inggris saat itu. Beberapa warga yang menolak berpendapat, dukungan dari para gay bisa membuat perjuangan mereka rusak dan tidak mendapat simpati dari masyarakat luas. Ada pula yang menolak hanya karena tidak suka dengan gay.


Lagi-lagi Mark tidak mau asanya putus. Dia dan kawan-kawannya terus berusaha menarik simpati kelompok buruh tambang tersebut. Hingga akhirnya, kelompok gay bisa diterima dan kelompok buruh dari Wales tersebut bersama-sama mengikuti gay parade di London.


Film Pride bertema tentang ketegangan antara Perdana Menteri Inggris Margaret Tacher dengan buruh tambang. Beda dengan Billy Elliot atau Brassed Off yang fokus kepada kehidupan buruh tambang saja, Pride menceritakan tentang kekuatan lain yang ikut dalam gerakan besar tersebut, yakni kelompok gay.


Drama ini diangkat dari kejadian nyata sekitar tahun 1984. Mark Ashton adalah karakter nyata. Mark adalah seorang aktivis hak asasi gay yang juga anggota partai komunis Inggris. Dalam Pride, Mark digambarkan sebagai seorang yang punya ide melimpah. Mark sendiri adalah karakter yang menonjol. Penggambaran ini menutupi peran orang-orang di dalam kelompoknya.


Ketika LGSM benar-benar ditolak oleh warga Wales, Mark jadi seperti remaja galau yang senang kabur dan menghilang. Di dalam Pride, kegalauan Mark itu pula yang membuat agenda kelompoknya mundur. Seolah semesta berputar hanya pada Mark Ashton saja.


Lain dengan Joe Cooper yang tokoh rekaan. Karakter Joe adalah representasi gay yang tinggal di lingkungan suburban yang masih tabu dengan gay. Sambil menegaskan jati diri gaynya, dia menyembunyikan identitas gay karena takut ditolak oleh lingkungan. Terutama keluarganya.


Pride (2014) Movie
Pride (2014) Movie

Solidaritas Warga Tertindas


Tahun 1984, Rezim Margaret Tacher merasa pertambangan batubara sudah tak lagi menguntungkan. Lantas dia menutup 20 tambang batubara di seluruh Inggris. National Union of Mineworkers (NUM), serikat buruh tambang Inggris terbesar saat itu tidak tinggal diam. NUM, mengajak seluruh buruh tambang batubara agar melakukan mogok kerja.


Praktis, sepanjang tahun 1984, seluruh tambang batubara lumpuh. Meski begitu, ternyata Inggris tidak lumpuh-lumpuh amat. Mogok kerja buruh tambang tidak menghasilkan apa-apa selain kekalahan. Rupanya, sebelum memutuskan menutup 20 tambang batubara, Tacher sudah lebih dulu menimbun persediaan batubara untuk listrik Inggris.


Meski kalah, mogok kerja 1984 itu menghasilkan sebuah persahabatan. Solidaritas yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. NUM cabang Wales adalah organisasi non-LGBT pertama yang ikut dalam gay parade di London.


Romantisme solidaritas warga tertindas ini yang diceritakan dalam Pride. Bagaimanapun, gay dan buruh tambang adalah warga negara Inggris yang punya hak untuk menuntut kesetaraan dan kesejahteraan.


Solidaritas warga barangkali isu yang selalu menarik dibahas di kelompok pergerakan. Ketika tertindas, tidak ada obat terbaik selain solidaritas dari sesama. Ketika buruh tambang tertindas, para gay menawarkan solidaritas sebagai sesama tertindas.


Kelompok aktivis gay sebelumnya dianggap sebagai gerakan yang elitis yang sangat jauh dari isu kelas sosial seperti perburuhan dan lain sebagainya. LGSM memberi dobrakan yang selama ini tak pernah dibayangkan sebelumnya. Mereka berhasil membangun solidaritas antar sesama warga tertindas.


Di tengah pembangunan besar-besaran oleh negara, film ini sangat penting untuk ditonton atau disebarluaskan. Isu yang ditawarkannya sangat relevan untuk warga Indonesia tergusur saat ini, yakni solidaritas sesama warga tertindas.


Lihat Jakarta yang baru mengangkat gubernur baru. Penggantian gubernur baru itu bukan tanpa luka. Banyak kawan jadi lawan. Banyak saudara jadi musuh, cuma karena beda pandangan siapa yang terbaik. Saat ini warga terbelah.


Isu SARA merupakan senjata kampanye pilkada paling ampuh.  Sangat disayangkan, di antara dua kubu yang bersebrangan, sedikit sekali yang peduli dengan kelompok yang termarjinalkan macam warga tergusur yang dianggap kumuh. Demo yang berjilid-jilid itu pun tidak mengagendakan pembelaan atau solidaritas kepada warga tergusur. Isu penggusuran dan reklamasi hanya sebatas bahan bakar kampanye saja. Tidak lebih dari itu.


Padahal solidaritas horizontal boleh jadi senjata kuat guna melawan kesemena-menaan negara yang merampas hak warganya. Solidaritas pula mampu menyatukan warga tertindas agar sama-sama mencari jalan keluar dari masalahnya bersama. Kalau sama-sama ditindas, mengapa tidak bersatu saja? Kalau perlu, kalian mesti belajar bersolidaritas dari para petani Kulon Progo.


Sutradara: Matthew Warchus


Penulis Naskah: Beresford


Pemain: Ben Schnetzer, George MacKay, Bill Nighly,


Tahun rilis: 2014







MahasiswaBicaraID


The post Sama Ditindas, Mengapa Tidak Bersatu Saja appeared first on Mahasiswariau.com.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar